Sebagaimana teori homo sapien mengatakan manusia adalah makhluk sosial, maka manusia memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dalam pelaksanaan interaksi atau pergaulan dibutuhkan adanya suatu perangkat pranata untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban yang timbul. Pranata sosial yang mengatur kehidupan bermasyarakat terdiri atas norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum. Khusus untuk norma kesusilaan dan kesopanan biasa disebut sebagai etika pergaulan. Etika merupakan suatu nilai yang bersumber dari kedalaman hati nurani untuk mengatakan sesuatu bernilai baik atau buruk. Penilaian baik atau buruk tentu saja sangat relatif diantara kelompok masyarakat tertentu, karena terkait erat dengan latar belakang adat istiadat dan budaya yang dianut. Etika menjadi pangkal moralitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pengejawantahan etika bisa dilihat dari perkataan, dan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam kesehariannya. Manusia yang taat kepada nilai kebaikan, maka manusia tersebut dikatakan sebagai manusia yang memiliki etika. Adapun perkataan maupun perbuatan manusia yang berlawanan dengan nilai kebaikan disebut tindakan tidak etis.
Etika sebenarnya mengikat erat pergaulan manusia di manapun ia berada, dan bagaimanapun cara atau media interaksi yang digunakan. Di masa kini media dan teknologi dalam pergaulan manusia telah berkembang sangat canggih. Hal ini menjadikan ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang, dimanapun dan kapanpun komunikasi dapat dilakukan. Namun demikian, satu hal yang akan tetap terus berlaku, bahwa apa dan bagaimanapun media komunikasi yang digunakan harus tetap dilandasi dengan etika.
Internet dengan berbagai aplikasinya banyak memberikan peluang pergaulan dunia maya yang tanpa batas. Mulai dari website, email, chatting, weblog, facebook, bahkan yang terbaru twitter semakin memanjakan manusia untuk saling berkomunikasi. Terlepas dari peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, etika menjadi kunci utama yang harus senantiasa diterapkan. Dengan komunikasi yang beretika, maka tujuan komunikasi akan tercapai tanpa menimbulkan kecurigaan dan prasangka negatif.
Kecanggihan teknologi tanpa etika tentu akan menjadi monster yang akan merugikan diantara pihak-pihak pelaku pergaulan. Bahkan tidak mungkin perkataan dan perbuatan yang tidak etis akan menjadi senjata makan tuan yang membunuh karakter diri pelakunya. Satu contoh kasus hangat yang kini menjadi perhatian publik adalah konflik antara seorang artis dengan media infotainmen terkait cacian dan makian yang tidak etis di dunia maya.
Prita dan Luna Maya bisa jadi hanyalah sebagian kecil kasus yang muncul ke permukaan. Kita barangkali bisa membayangkan bagaimana facebook misalnya telah diakses oleh anak-anak sekolah melalui hand phone mereka. Sebagai media ekspresi, apakah kita mengerti misalkan anak-anak mengungkapkan kejengkelan kepada gurunya melalui facebook. Pak Guru itu anu….anu…bla…bla, dan lain sebagainya. Pak Guru yang dimaksud bisa jadi tidak mengerti cacian dan umpatan muridnya karena mungkin ia tidak mengerti facebook-facebookan. Namun bukankah tulisan itu menyebar menjadi bola liar kemana-mana. Bisa dibayangkan penjara-penjara akan segera penuh apabila Pasal 27 UU ITE diterapkan secara lugas.
Dunia maya adalah dunia maya. Dunia maya sebagaimana dunia nyatapun tak lepas dari aturan etika. Euforia kecanggihan media seringkali menjadikan manusia penggunanya menjadi lupa daratan. Media maya seringkali dijadikan tempat sampah sumpah serapah. Hal ini tentu merupakan efek negatif yang sebenarnya tidak kita inginkan. Bagaimanapun canggihnya suatu teknologi, namun di balik itu harus tetap diikuti suatu edukasi yang memadai agar manusia mampu memanfaatkannya secara bijaksana dan dewasa.
Sebenarnya di dunia mayapun akan berlaku sanksi sosial terhadap pelaku perbuatan yang tidak etis. Dalam suatu jejaring sosial misalkan, pada saat ada pelaku perbuatan tidak etis seperti caci maki, sumpah serapah, fitnah, ataupun kebohongan, maka jaringan komunitas yang bersangkutan lama-kelamaan pasti akan mengucilkan dan tidak akan mengakses alamat yang bersangkutan.
Demokrasi telah mengantarkan rakyat untuk leluasa mengekspresikan aspirasinya. Dimanapun dan kapanpun media ekspresi yang digunakan, tentunya etika harus tetap dijunjung tinggi. Menurut Ndoro Kakung “Wicaksono”, ada beberapa pedoman etika dalam pergaulan di dunia maya yang semestinya diacu oleh para netter.
Pertama pernah merugikan atau menyakiti pihak lain. Bila ingin menyampaikan kritik, hendaklah disampaikan secara elegan, dengan bahasa santun, dan jangan sekali-kali menyerang personal seseorang. Kedua jangan pernah berbohong. Ungkapkan sesuatu sebagaimana adanya, jangan mengada-ada. Bila perlu sertakan data dengan pengungkapan argumentasi yang logis. Dan yang ketiga, jangan sekali-kali mengeluarkan kata-kata, ataupun memasang sesuatu yang hanya memalukan diri sendiri.
Manusia pengguna media maya memiliki latar belakang pengetahuan yang beragam. Kebanyakan dari kita tentu bukanlah rakyat yang paham akan aturan hukum. Biarlah UU ITE membatasi ekspresi aspirasi kita dengan Pasal 27-nya dan kita bukanlah pakar hukum. Namun dengan berpegang pada ketiga etika komunikasi di atas tentu peraturan tersebut tidak akan terlanggar. Etika memang hanya batasan normatif dan minimalis, tapi lebih pasti bisa dipahami sekalipun oleh orang awam.
sumber : http://pendekartidar.org/etika-berinternet.php
Etika sebenarnya mengikat erat pergaulan manusia di manapun ia berada, dan bagaimanapun cara atau media interaksi yang digunakan. Di masa kini media dan teknologi dalam pergaulan manusia telah berkembang sangat canggih. Hal ini menjadikan ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang, dimanapun dan kapanpun komunikasi dapat dilakukan. Namun demikian, satu hal yang akan tetap terus berlaku, bahwa apa dan bagaimanapun media komunikasi yang digunakan harus tetap dilandasi dengan etika.
Internet dengan berbagai aplikasinya banyak memberikan peluang pergaulan dunia maya yang tanpa batas. Mulai dari website, email, chatting, weblog, facebook, bahkan yang terbaru twitter semakin memanjakan manusia untuk saling berkomunikasi. Terlepas dari peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, etika menjadi kunci utama yang harus senantiasa diterapkan. Dengan komunikasi yang beretika, maka tujuan komunikasi akan tercapai tanpa menimbulkan kecurigaan dan prasangka negatif.
Kecanggihan teknologi tanpa etika tentu akan menjadi monster yang akan merugikan diantara pihak-pihak pelaku pergaulan. Bahkan tidak mungkin perkataan dan perbuatan yang tidak etis akan menjadi senjata makan tuan yang membunuh karakter diri pelakunya. Satu contoh kasus hangat yang kini menjadi perhatian publik adalah konflik antara seorang artis dengan media infotainmen terkait cacian dan makian yang tidak etis di dunia maya.
Prita dan Luna Maya bisa jadi hanyalah sebagian kecil kasus yang muncul ke permukaan. Kita barangkali bisa membayangkan bagaimana facebook misalnya telah diakses oleh anak-anak sekolah melalui hand phone mereka. Sebagai media ekspresi, apakah kita mengerti misalkan anak-anak mengungkapkan kejengkelan kepada gurunya melalui facebook. Pak Guru itu anu….anu…bla…bla, dan lain sebagainya. Pak Guru yang dimaksud bisa jadi tidak mengerti cacian dan umpatan muridnya karena mungkin ia tidak mengerti facebook-facebookan. Namun bukankah tulisan itu menyebar menjadi bola liar kemana-mana. Bisa dibayangkan penjara-penjara akan segera penuh apabila Pasal 27 UU ITE diterapkan secara lugas.
Dunia maya adalah dunia maya. Dunia maya sebagaimana dunia nyatapun tak lepas dari aturan etika. Euforia kecanggihan media seringkali menjadikan manusia penggunanya menjadi lupa daratan. Media maya seringkali dijadikan tempat sampah sumpah serapah. Hal ini tentu merupakan efek negatif yang sebenarnya tidak kita inginkan. Bagaimanapun canggihnya suatu teknologi, namun di balik itu harus tetap diikuti suatu edukasi yang memadai agar manusia mampu memanfaatkannya secara bijaksana dan dewasa.
Sebenarnya di dunia mayapun akan berlaku sanksi sosial terhadap pelaku perbuatan yang tidak etis. Dalam suatu jejaring sosial misalkan, pada saat ada pelaku perbuatan tidak etis seperti caci maki, sumpah serapah, fitnah, ataupun kebohongan, maka jaringan komunitas yang bersangkutan lama-kelamaan pasti akan mengucilkan dan tidak akan mengakses alamat yang bersangkutan.
Demokrasi telah mengantarkan rakyat untuk leluasa mengekspresikan aspirasinya. Dimanapun dan kapanpun media ekspresi yang digunakan, tentunya etika harus tetap dijunjung tinggi. Menurut Ndoro Kakung “Wicaksono”, ada beberapa pedoman etika dalam pergaulan di dunia maya yang semestinya diacu oleh para netter.
Pertama pernah merugikan atau menyakiti pihak lain. Bila ingin menyampaikan kritik, hendaklah disampaikan secara elegan, dengan bahasa santun, dan jangan sekali-kali menyerang personal seseorang. Kedua jangan pernah berbohong. Ungkapkan sesuatu sebagaimana adanya, jangan mengada-ada. Bila perlu sertakan data dengan pengungkapan argumentasi yang logis. Dan yang ketiga, jangan sekali-kali mengeluarkan kata-kata, ataupun memasang sesuatu yang hanya memalukan diri sendiri.
Manusia pengguna media maya memiliki latar belakang pengetahuan yang beragam. Kebanyakan dari kita tentu bukanlah rakyat yang paham akan aturan hukum. Biarlah UU ITE membatasi ekspresi aspirasi kita dengan Pasal 27-nya dan kita bukanlah pakar hukum. Namun dengan berpegang pada ketiga etika komunikasi di atas tentu peraturan tersebut tidak akan terlanggar. Etika memang hanya batasan normatif dan minimalis, tapi lebih pasti bisa dipahami sekalipun oleh orang awam.
sumber : http://pendekartidar.org/etika-berinternet.php
1 komentar:
bagus gan
Posting Komentar